RUANG RINDU
Dunia Andri
Bunyi jangkrik terdengar nyaring dari perkarangan rumahmu. Menemani sepi dan dinginnya malam di akhir November itu. Menemani kamu dengan setumpuk tugas kuliah yang memaksa kamu begadang, karena deadline waktu semakin mendesak.
Layar netbook makin membuat matamu perih. Apalagi kantuk semakin menggodamu. Bantal, guling, dan kasurmu seolah tertawa mengejek. Meminta untuk kamu tiduri. Namun kamu menggelengkan kepala. Meyakinkan hati jika kamu harus bertahan.
Tiba-tiba jari tanganmu berhenti mengetik. Bukan karena kehabisan bahan untuk paper kamu. Karena nyatanya buku-buku referensimu bertebaran di mana-mana. Tapi sekelumit senyum itu mencul begitu saja di dalam kepalamu. Memaksa minggir setumpuk rumus statistik sosial yang memenuhi otakmu. Senyuman dari gadis yang biasa-biasa saja. Yang kecantikannya tidak meredupkan orang-orang di sekelilingnya. Gadis yang sederhana, tapi ‘berbeda’.
Sudah lama kamu menumpuk senyuman itu di bawah lemari perasaanmu. Berusaha sekuat tenaga menghapus memori itu. Karena kamu benci, jika hanya kamu yang merasa. Hanya kamu yang diserang rindu jika tidak bertemu. Hanya kamu yang kesepian jika ada kealpaan di ruang komunikasimu. Kamu benci jika hanya kamu sendiri.
Kamu berhenti mengetik akhirnya. Membuka folder yang tidak ada hubungannya dengan tugas yang sedang kamu selesaikan malam itu. Folder yang sudah lama kamu abaikan. Tidak pernah kamu buka-buka lagi. Namun malam itu kamu tergelitik untuk mampir. Sederet foto-foto keluar memenuhi layar netbookmu. Hanya foto-foto dia yang ada. Dan hanya dia.
Sesak memenuhi perasaanmu. Nafasmu menjadi berat. Sekuat tenaga kamu berusaha untuk membendung air mata. Namun kali ini kamu harus mengalah. Karena perasaanmu tidak bisa berbohong. Perasaanmu suci. Walalupun sering kamu memanipulasi.
Kamu mengutuk diri sendiri. Mengapa kamu harus menjadi pemilik arsip-arsip itu. Setumpuk sobekan karcis bioskop. Surat-surat yang sudah luntur tintanya. Bon-bon restoran yang kamu dan dia harus patungan untuk membayarnya. Memaksamu mengingat lagi. Padahal kamu sendiri yakin dia sudah tidak pernah lagi berusaha mengingatnya. Malah kamu yakin ia justru lupa kalau kalian pernah melakukan semua itu.
Gelisah di hatimu makin membuat dirimu kalut. Kamu tutup netbookmu tanpa kamu shutdown terlebih dahulu. Kamu buru-buru keluar dari kamarmu. Karena kamu butuh udara untuk bernafas.
Kakimu yang telanjang menapak rerumputan yang mulai berembun. Kamu dibuat menggigil olehnya. Ditambah angin malam makin tidak bersahabat. Kamu makin menggigil saja. Kamu usap bulir-bulir air mata yang membasahi pipimu. Dan kamu duduk di bangku taman rumahmu. Menatap ke muka angkasa yang hitam pekat. Namun bersinar oleh sejuta bintang yang berkelap-kelip tanpa pamrih. Oleh rembulan yang tengah mencapai puncak purnama. Kamu tersenyum.
Senyummu untuk kenangan yang baru saja kamu tangisi. Untuk memori yang seharusnya menjadi cerita lalu. Untuk sejarahmu dan dia. Karena menurutmu kenangan adalah sepotong es krim. Terasa nikmat begitu menyentuh lidahmu. Namun membuat dahaga begitu habis.
Apa yang sedang ia lakukan sekarang? Pertanyaan itu memenuhi kepalamu. Karena kamu tidak bisa memungkiri jika kamu merindukan dirinya. Merindukan suaranya. Merindukan perhatiannya. Merindukan adanya.
Lagi-lagi kamu harus mengalah dengan keadaan air matamu. Kamu tidak kuasa untuk membendungnya. Karena makin lama kamu makin terisak.
Kamu selalu bertanya, apakah dosa jika orang mencintaimu. Apakah salah jika ada yang memberi rasa lebih kepada dirimu. Bukankah setiap manusia berhak untuk mencintai dan dicintai. Namun kenapa cinta yang kamu puja hanya kamu yang merasa. Dan mengapa sahabat terbaikmu merebut orang yang amat kamu cintai.
Kamu kembali lagi ke dalam kamarmu. Membuka dengan membabi buta netbookmu. Terburu-buru memasukan password. Dan kembali ke folder yang tadi kamu buka. Dengan sigap dan cepat kamu men-delete folder itu. Lalu kamu ambil semua potongan karcis bioskop, bon-bon restoran, dan surat-surat yang sudah luntur tintanya. Kamu bawa ke taman dan membakar semuanya.
Kamu merasa sudah saatnya untuk pensiun dini sebagai tukang arsip. Karena ruang rindumu sudah penuh sesak olehnya. Kamu mau membuat ruang rindu itu menjadi kosong dan sepi lagi. Supaya orang lain yang lebih layak bisa menempati dan membuat ruang itu lebih berwarna. Tidak hitam putih lagi.
Finish on 00.35 AM
Komentar
Posting Komentar