PUBLISITASCITRA MENUJU 2014
Pemilihan umum
memang masih beberapa tahun lagi, namun persiapan partai politik dalam upaya
untuk meningkatkan electoral threshold
sudah gencar sedari 2011 ini. Para elit politik melalui kendaraan politiknya
gencar melakukan publisitas, baik melalui media massa, maupun melalui langkah kangsung ke
masyarakat.
Mesley Fiske
Pratzner sendiri mendefinisikan publisitas sebagai planned news. Artinya berita yang sengaja dibuat untuk meningkatkan
suatu popularitas. Publisitas sendiri dirasa wajar, apalagi jika bertujuan
untuk menyampaikan visi dan misi partai politiknya. Namun yang menjadi krusial
adalah pengggunaan frekuensi siaran secara massive
oleh sebagian kelompok yang memiliki media, padahal frekuensi siaran
merupakan hak rakyat.
Tokoh dan
partai politik yang paling gencar melakukan publisitas adalah Prabowo dengan
Gerindra-nya. Acapkali Prabowo melakukan pure
publicity. Mengggunakan kejadian-kejadian biasa sebagai sarana pulisitas.
Contohnya saat Prabowo menggucapkan selamat hari ibu. Sederhana, namun langkah
ini sangat jitu untuk meningkatkan citranya sebagai politikus yang “sayang
ibu”, sehingga meningkatakan empati masyarakat kepada dirinya dan partainya.
Tie-in
publicity, menggunakan peristiwa yang mengggemparkan atau peristiwa
penting sebagai sarana publisitas. Hal ini pernah dilakukan oleh Aburizal
Bakrie ketika mengundang Timnas AFF ke kediaman pribadinya. Banyak media yang
diundang. Sehingga pemberitaan tersebut menjadi ‘wah’. Apalagi saat itu
perhatian khalayak sedang ‘panas-panasnya’ terhadap kiprah Timnas.
Contoh lain
adalah penggunaan frekuensi siaran sebagai sarana publisitas partai baru yang
tidak dapat dipungkiri adalah efek dari hirarki penggaruh. Contohnya media yang
mengggunakan waktu prime time-nya
hanya unuk memberitakan mengenai verifikasi partai tersebut.
Contoh di atas
mungkin terasa wajar, namun disadari atau tidak, ketika media terus menerus
dijadikan alat manuver politik oleh sebagian kalangan yang memiliki media,
rasanya akan terjadi distorsi politik media. Rakyat akan jengah terhadap
perilaku para politikus yang sekadar mengumbar citra, namun minim
pengaplikasian kongkrit di lapangan. Permasalahan ini dapat meningkatkan
tingkat keapatisan pemilih, terutama pemilih pemula. Terlebih literasi politik
yang sangat minim di Indonesia.
Kita perlu menyadari bahwa social jumping
dari masyarakat agraris menuju masyarakat informasi terjadi di negeri ini. Kita
melewati fase masyarakat literasi, padahal fase ini begitu penting untuk
memfilter budaya menonton yang sekarang begitu mendominasi.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa melakukan tindakan publisitas adalah hak setiap orang, namun
alangkah lebih elok jika tetap memerhatikan etika yang ada. Perlu adanya
udang-undang yang jelas yang mengatur mengenai regulasi tayangan. Sehingga
rakyat mendapatkan porsi yang pas, tidak over
publicity untuk satu atau beberapa kelompok semata.
Jangan heran
jika di 2012 nanti, industri media terutama media penyiaran televisi akan
dipenuhi oleh iklan-iklan politik sebagai upaya publisitas parpol maupun elit
politik. Tidak peduli seberapa sering mereka menggunkan frekuensi siaran
sebagai sarana publisitas citra menuju 2014.
Komentar
Posting Komentar